Kamis, Maret 25, 2010

KESELAMATAN PENERBANGAN DI INDONESIA DALAM ERA BARU (UURI NO.1 TAHUN 2009)

PENGATURAN KESELAMATAN PENERBANGAN
DI INDONESIA DALAM ERA BARU (UURI NO.1 TAHUN 2009)


OLEH : UDI USODO


A.     Sejarah Penerbangan dan Perkembangan Hukum Udara serta Hukum Udara sebagai Ilmu

Sejalah dengan adanya perkembangan keberadaan pesawat udara, pembangunan di bidang hukum udara juga mulai menjadi perhatian sejak tahun 1784, peraturan pertama dalam bidang hukum udara dibuat pada tahun tersebut oleh Lenoir seorang berkebangsaan Perancis, yang melarang penerbangan dengan balon udara tanpa izin. Kemudian peraturan dalam hal keselamatan penerbangan pertama kali pada tahun 1819 oleh Count d’Anglés, yang mengharuskan balon udara dilengkapi dengan parasut dan melarang percobaan-percobaan  dengan balon udara selama musim panen.[1] 

Hukum udara yang sekarang kita kenal merupakan cabang ilmu yang baru berkembang pada permulaan abad ke-20, setelah Wilbur Wright dan Orville Wright berhasil terbang dengan sebuah pesawat yang lebih berat dari udara. Hukum Udara, menurut Goedhuis dan Diederiks Verschoor diartikan sebagai “keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur ruang udara dan penggunaannya untuk keperluan penerbangan”.[2] Definisi tersebut merupakan pengertian luas dan sebagai pengertian atau definisi hukum udara yang umumnya sekarang dikenal, mengingat jika pengertian hukum udara diartikan sebagai “hukum yang mengatur objek udara” maka sejak jaman Romawi sudah dikenal adanya prinsip “coius est solum” yang berarti siapa memiliki tanah, memiliki juga udara di atasnya sampai ke langit. Namun ungkapan demikian (coius est solum) tentunya sudah tidak relevan lagi, mengingat bahwa langit yang dimaksud juga ada batasnya. Karena mulai tahun 1901 telah mulai dikenal bidang ilmu hukum baru yaitu “Droit Aérien” atau hukum udara oleh Prof. Nys dari Universitas Brussel, hingga pada tahun 1919 ketika Konvensi Paris mengenai penerbangan internasional ditandatangani, yang diatur hanya “I’espace atmospherique”, demikian juga dalam Konvensi Chicago 1944, hanya mengatur “airspace” atau ruang udara.[3]

Menurut N. Mateesco, istilah  “Droit Aérien” akhirnya yang kemudian lebih populer dalam perkembangan di massa selanjutnya, dibandingkan istilah-istilah lain yang muncul kemudian misalnya “Law of Civil Aviation”, “Law of Flight” dan “Recht der Lufthahrt”, yang secara umum semua istilah (law of civil aviation, law of flight dan recht der lufthahrt) lebih menekankan pada kegiatan penerbangan. Sementara itu di Indonesia, E. Suherman mendefinisiskan hukum udara sebagai “keseluruhan ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang mengatur ruang udara, pesawat udara, pemanfaatannya untuk penerbangan dan prasarana penerbangan”.[4] Hukum udara sebagai ilmu semakin mendapat perhatian sejalan dengan perkembangan teknologi penerbangan dunia, maka ketika tahun 1957 Sputnik I diluncurkan, spekulasi bidang hukum baru akhirnya menjadi kenyataan yaitu hukum angkasa (space law) dan lebih lanjut pengaturan ruang angkasa secara internasional ditetapkan dalam “Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outerspace, including the Moon and Other Celestial Bodies” pada tahun 1967.[5] Hal ini semakin menegaskan pentingnya kajian di bidang hukum udara, karena ternyata kualifikasi teknologi buatan manusia telah mampu menjangkau hingga menembus dan melewati batas ruang udara. Namun demikian hingga saat ini belum ada aturan internasional yang secara jelas dan tegas merumuskan batas antara ruang udara dan ruang angkasa.

B.     Batasan Pengertian

1.      Penerbangan

Merujuk pada Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, Penerbangan diartikan sebagai “satu kesatuan sistem yang terdiri atas pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi penerbangan, keselamatan dan keamanan, lingkungan hidup, serta fasilitas penunjuang dan fasilitas umm lainnya”. Kata “penerbangan” di sini dimaksudkan sebagai padanan kata “aviation”, dan bukan padanan dari kata “aeronautical”, “flight”, “aerial navigation” ataupun “air navigation”. Kata “penerbangan / aviation” memiliki arti yang lebih luas yang mengacu pada Konvensi Paris 1919 (Convention Relating to the Regulation of Aeraial Navigation), Konvensi Havana 1928 (Convention on Commercial Aviation), Konvensi Chicago 1944 (Convention on International Civil Aviation).[6] 

2.      Pesawat Udara

Menurut Konvensi Paris 1919, pesawat udara (aircraft) diartikan sebagai “any machine that can derive support in the atmosphere from the reaction of the air”. Sedangkan menurut Konvensi Chicago 1944 dalam Annex 7, pengertian tersebut ditambahkan menjadi: “any machine that can derive support in the atmosphere from the reaction of the air other than the reactions of the air against the earth’s surface”.[7]

Sebagai perbandingan, pengertian pesawat udara di Indonesia menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 1958 adalah “setiap alat yang dapat memperoleh daya angkat dari udara”, kemudian pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1962, pesawat diartikan sebagai “semua alat angkut yang dapat bergerak dari atas tanah atau air ke udara atau ke angkasa atau sebaliknya”, menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992, pesawat udara adalah “setiap alat yang dapat terbang di atmosfer karena daya angkat dari reaksi udara”.

Kemudian baru pada Undang-Undang Penerbangan yang berlaku sekarang (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009) pengertian pesawat udara lebih mirip pada pengertian menurut Konvensi Chicago 1944, pesawat udara diartikan sebagai “setiap mesin atau alat yang dapat terbang di atmosfer karena gaya angkat dari reaksi udara, tetapi bukan karena reaksi udara terhadap permukaan bumi yang digunakan untuk penerbangan”. Ketentuan internasional dalam Konvensi Chicago 1944 dan ketentuan nasional dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 secara umum adalah untuk pengaturan pesawat udara sipil bukan pesawat udara negara. Pada Pasal 3 huruf (b) Konvensi Chicago 1944 menyebutkan: “aircraft used in military, customs and police services shall deemed to be state aircraft” dan pesawat udara negara tidak berhak melakukan penerbangan diatas negara anggota (Konvensi Chicago 1944) lainnya.

Pembedaan tersebut tidak hanya pada konvensi-konvensi yang secara konperhensif mengatur mengenai penerbangan tetapi juga dalam konvensi lain seperti (United Nations Convention on the Law of the Sea) dan Konvensi Jenewa 1958 walaupun menggunakan istilah yang sidikit berbeda yaitu pesawat udara swasta (private aircraft) dan pesawat udara dinas pemerintah (government service.)[8]

Boer Mauna juga membedakan pesawat udara dalam beberapa kategori yaitu:[9] (1) pesawat udara sipil yang terdiri dari: pesawat udara yang tidak melakukan pelayanan pengangkutan komersial, pesawat udara yang melakukan pelayanan pengangkutan komersial reguler, pesawat yang melakukan pelayanan pengangkutan komersial non-reguler dan pesawat yang melakukan cabotage[10], dan (2) pesawat publik. Pada dasarnya semua pembedaan tersebut berkenaan dengan kriteria kebebasan udara yang dapat dinikmati oleh masing-masing pesawat udara.

3.      Kelaikudaraan dan Sertifikat Kelaikudaraan

Kelaikudaraan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Pasal 1 angka 10 diartikan sebagai “terpenuhinya persyaratan desain tipe pesawat udara dan dalam kondisi aman untuk beroperasi”, pengertian tersebut sama dengan pengertian kelaikudaraan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM 26 Tahun 2009 tentang Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Keselamatan Penerbangan. Secara khusus kelaikudaraan pesawat udara diatur pada Pasal 34 samapi dengan Pasal 40 Udang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009. Selanjutnya sebagai bukti terpenuhinya syarat tersebut maka harus didukung dengan adanya sertifikat kelikudaraan sebagaimana ketentuan pada Pasal 31 Konvensi Chicago 1944 dan Pasal 34 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009.

Sebagimana ketentuan Pasal 40 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, yang menyatakan bahwa prosedur memperoleh sertifikat diatur dengan Peraturan Menteri, maka merujuk pada Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM 26 Tahun 2009 tentang Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Keselamatan Penerbangan, pengertian sertifikat kalaikudaraan adalah “tanda bukti terpenuhinya persyaratan kelaikudaraan sesuai dengan peraturan keselamatan penerbangan sipil”.

Sertifikat kelaikudaraan bagi pesawat sendiri dibedakan menjadi dua[11], yaitu: 

1.      Sertifikat Kelaikudaraan Standar
Serifikat jenis ini diberikan untuk pesawat terbang kategori transpor, normal, kegunaan, aerobatik, komuter, helikopter kategori normal dan transpor, serta kapal udara dan balon penumpang. Sertifikat ini dibedakan lagi menjadi dua, yaitu sertifikat kelaikudaraan standar pertama (initial airworthiness certificate) yang diberikan untuk pesawat udara yang pertama kali dioperasikan, dan sertifikat kelaikudaraan standar lanjutan (continous  airworthiness certificate) yang diberikan setelah sertifikat kelaikudaraan standar pertama yang pesawat udaranya akan dioperasiakan terus-menerus.

2.      Serifikat Kelaikudaraan Khusus
Sertifikat ini adalah yang diberikan untuk pesawat udara yang penggunaannya untuk tujuan khusus secara terbatas, percobaan, dan kegiatan penerbangan yang bersifat khusus.[12]

Sehubungan dengan pemenuhan kondisi laik udara pesawat udara maka juga diperlukan sertifikat dan jenis-jenis izin yang mendukung, sesui dengan Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM 26 Tahun 2009 dengan definisinya merujuk pada pasal 1 Peraturan Menteri tersebut sebagai berikut:[13]

1.      Sertifikat Organisasi Rancang Bangun (Designated Organization Approval), adalah surat bukti terpenuhinya persyaratan sesuai peraturan penerbangan sipil dalam melakukan pembuatan rancang bangun atau merekayasa pesawat udara, baling-baling pesawat udara dan/atau komponen pesawat udara.
2.      Sertifikat Tipe (Type Certificate), adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan kelaikudaraan sesuai peraturan keselamatan penerbangan sipil dalam hal rancang bangun pesawat udara, mesin pesawat udara dan baling-baling pesawat udara.
3.      Sertifikat Tipe Tambahan (Supplement Type Certificate), adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan kelaikudaraan sesuai peraturan keselamatan penerbangan sipil dalam hal perubahan/modifikasi terhadap rancang bangun pesawat udara atau mesin pesawat udara, atau baling-baling pesawat udara yang telah memiliki sertifikat tipe.
4.      Sertifikat Produksi (Production Certificate), adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan kelaikudaraan sesuai peraturan keselamatan penerbangan sipil yang diberikan kepada pabrikan dalam hal pembuatan dan perakitan pesawat udara, mesin pesawat udara, baling-baling pesawat udara dan/atau komponen pesawat udara.
5.      Sertifikat Pendaftaran (Certificate of Registration), adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan pendaftaran pesawat udara untuk masuk ke dalam daftar pesawat udara sipil Republik Indonesia sesuai dengan pengaturan keselamatan penerbangan sipil.
6.      Sertifikat Operator Pesawat Udara (Air Operator Certificate), adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan kelaikudaraan sesuai peraturan keselamatan penerbangan sipil yang diberikan kepada pabrikan dalam hal mengoperasikan pesawat udara secara komersil.
7.      Sertifikat Organisasi Perawatan Pesawat Udara (Aircraft Maintenance Organization Approval), adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan kelaikudaraan sesuai peraturan keselamatan penerbangan sipil yang diberikan kepada pabrikan dalam hal pelaksanaan perawatan pesawat udara , mesin pesawat udara, baling-baling pesawat udara beserta komponen-komponennya.
8.      Sertifikat Penyalur Produk Aeronautika (Certificate Distributor of Aeronautical Product), adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan peraturan keselamatan penerbangan sipil sebagai penyalur, penjual dan agen untuk menerima, menyimpan dan menjual produk aeronautika yang dipakai oleh pesawat udara.
9.      Sertifikat Penyelenggaraan Pendidikan dan/atau Pelatihan Personel Pesawat Udara, adalah tanda bukti terpenuhinya persyaratan pendidikan dan/atau teknisi pesawat udara sesuai peraturan keselamatan penerbangan sipil.
10.  Sertifikat Kompetensi Bagi Personel Pesawat Udara, adalah tanda bukti seseorang telah memenuhi persyaratan pengetahuan, keahlian dan kualifikasi di bidangnya.
11.  Lisensi Bagi Personel Pesawat Udara, adalah surat izin yang diberikan kepada seseorang yang telah memenuhi persyaratan tertentu untuk melakukan pekerjaan di bidangnya dalam jangka waktu tertentu.
12.  Izin Produksi Berdasarkan Sertifikat Tipe, adalah persetujuan untuk memproduksi, merakit pesawat udara dan baling-baling pesawat terbang berdasarkan sertifikat tipe sesuai dengan peraturan keselamatan penerbangan sipil.
13.  Izin Produksi Berdasarkan Part Manufacturer Approval, adalah persetujuan untuk memproduksi bagian-bagian dan/atau piranti pesawat udara, mesin pesawat udara dan baling-baling pesawat terbang berdasarkan part manufacturer approval yang disetujui sesuai dengan peraturan keselamatan penerbangan sipil.
14.  Izin Produksi Berdasarkan Otorisasi Standar Teknis, adalah persetujuan untuk memproduksi bagian-bagian dan/atau komponen-komponen berdasarkan otorisasi (desain Technical Standard Order / TSO) yang disetujui sesuai dengan peraturan keselamatan penerbangan sipil.
4.      Keselamatan dan Keamanan

Mengenai keselamatan dan keamanan (penerbangan) merupakan bagian penting dari tujuan penyelenggaraan penerbangan tanah air. Pasal 1 angka 48 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 mengartikan keselamatan penerbangan (aviation safety) sebagai “suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dalam pemanfaatan wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, navigasi, penerbangan serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya”.[14]

Pasal 1 angka 49 mengatur pengertian keselamatan penerbangan (aviation security).[15] Menurut pasal tersebut keamanan penerbangan adalah “suatu keadaan yang memberikan perlindungan kepada penerbangan dari tindakan melawan hukum melaui keterpaduan pemanfaatan sumber daya manusia, fasilitas dan prosedur”.[16]

C.     Asas-Asas Penyelenggaraan Penerbangan

Sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, maka penyelenggaraan penerbangan di Indonesia berdasarkan:[17]

1.      Asas Manfaat, bahwa penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan bagi warga negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan negara.
2.      Asas Usaha Bersama dan Kekeluargaan, maksudnya adalah penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan dilaksanakan untuk mencapai tujuan nasional yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan.
3.      Asas Adil dan Merata, bahwa penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata tanpa diskriminasi kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat tanpa membedakan suku, agama, dan keturunan serta tingkat ekonomi.
4.      Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan, penyelenggaraan penerbangan harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara sarana dan prasarana, antara kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional.
5.      Asas Kepentingan Umum, penyelenggaraan penerbangan harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas.
6.      Asas Keterpaduan, penyelenggaraan penerbangan harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi, baik intra maupun antarmoda transportasi.
7.      Asas Tegaknya Hukum, bahwa undang-undang penerbangan mewajibkan Pemerintah untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan penerbangan.
8.      Asas Kemandirian, adalah penyelenggaraan penerbangan harus bersendikan pada kepribadian bangsa, berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, mengutamakan kepentingan nasional dalam penerbangan, dan memperhatikan pangsa muatan yang wajar dalam angkutan di perairan dari dan ke luar negeri.
9.      Asas Keterbukaan dan Antimonopoli, artinya penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan dilaksanakan untuk mencapai tujuan nasional yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan.
10.  Asas Berwawasan Lingkungan Hidup, maksudnya penyelenggaraan penerbangan harus dilakukan selaras dengan upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup.
11.  Asas Kedaulatan Negara, adalah penyelenggaraan penerbangan harus dilakukan selaras dengan upaya menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
12.  Asas Kebangsaan, adalah penyelenggaraan penerbangan harus dapat mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
13.  Asas Kenusantaraan, bahwa setiap penyelenggaraan penerbangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan penyelenggaraan penerbangan yang dilakukan oleh daerah merupakan bagian dari sistem penerbangan nasional yang berdasarkan Pancasila.
Ketentuan internasional juga mengatur mengenai hal tersebut khususnya Pasal 44 Konvensi Chicago 1944,[18] sebagai berikut:

“The aims and objectives of the Organization are to develop the principles and techniques of international air navigation and to foster the planning and development of international air transport so as to: (a) insure the safe and orderly growth of international civil aviation throughout the world; (b) encourage the arts of aircraft design and operation for peaceful purposes; (c) encourage the development of airways, airports, and air navigation facilities for international civil aviation; (d) meet the needs of the peoples of the world for safe, regular, efficient and economical transport; (e) prevent economical waste caused by unreasonable competition; (f) avoid discrimination between contracting states; (g) promote safety of flight in international air navigation; (h) promoted generally the development of all aspect of international civil aeronautics.”[19]

D.    Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Keselamatan dan Keamanan Penerbangan

Dalam dunia penerbangan, terdapat tiga hal yang saling berkaitan, yaitu keamanan, keselamatan dan kecelakaan atau bencana penerbangan. Menurunnya tingkat keamanan dan keselamatan ini dapat mengakibatkan terjadinya bencana penerbangan, sehingga keamanan dan keselamatan penerbangan saling terkait dan sulit untuk dipisahkan, untuk itu pengunaan rumusan penggenai keselamatan penerbangan relatif sering diikuti dengan “keamanan” juga.[20] Sementara itu menurut E. Suherman, ada berbagai faktor yang yang akhirnya berkombinasi menentukan ada atau tidaknya keselamatan penerbangan, yaitu: pesawat udara, personel, prasarana penerbangan, operasi penerbangan dan badan-badan pengatur.[21]

Mengenai pesawat udara terdapat hal-hal yang paling relevan dengan keselamatan yaitu: desain dan konstruksi yang memenuhi aspek crashworthiness yang merupakan sifat-sifat pesawat yang sedemikian rupa sehingga saat terjadi kecelakaan yang seharusnya survivable tidak didapati penumpang yang terluka parah, selanjutnya adalah kelaikudaraan yang berkenaan pada saat pengoperasian pesawat, dan yang ketiga adalah perawatan pesawat. Kemudian berkenaan dengan personel atau awak pesawat, adanya pendidikan dan latihan, lisensi, kesehatan serta batas waktu terbang, menjadi upaya yang penting sebagai antisipasi dan optimalisasi kesiapan terbang.

Prasarana berupa bandar udara dengan segala alat bantu, dari mulai navigasi yang menggunakan alat mutakhir hingga ruang tunggu yang nyaman bagi calon penumpang. Kriteria alat dan fasilitas dari bandar udara akan menentukan klasifikasi baik buruknya atas badar udara. Selain bandar udara juga ada prasarana lainnya adalah rambu-rambu lalu-lintas udara dan alat bantu navigasi di luar pelabuhan udara yang perlu diperhatikan perawatanya. Selain itu prasarana juga sangat berhubungan dengan keamanan, upaya-upaya pencegahan tindak pidana hendaknya dilakukan melalui sistem penjagaan yang ketat di bandar udara.

Selain faktor tersebut, masih ada faktor lingkungan atau alam. Seperti cuaca yang tidak menentu sebagai akibat perubahan iklim juga merupakan faktor yang kuat dalam terjadinya kecelakaan penerbangan. Prof. Oetarjo Diran menyebutkan: “the aviation system is a typical complex an interactive socio-technical-environmental system...”.[22] K. Martono juga menambahkan bahwa kecelakaan terdiri dari berbagai faktor yaitu manusia (man), pesawat udara (machine), lingkungan (environment) penggunaan pesawat udara (mission), dan pengelolaan (management).[23]

E.     Ketentuan Keselamatan Penerbangan dalam Peraturan Penerbangan Nasional Indonesia

Keselamatan dan keamanan penerbangan (di Indonesia) merupakan tanggung jawab semua unsur baik langsung maupun tidak langsung, baik regulator, opertaor, pabrikan, pengguna dan kegiatan lain yang berkaitan dengan transportasi penerbangan tersebut.[24] Namun demikian keberadaan tanggung jawab yang sifatnya konseptual tersebut perlu diwujudkan, salah satu caranya adalah dengan adanya kebijakan-kebijakan dalam bentuk peraturan-peraturan oleh pemerintah dan instansi-instansinya di bidang transportasi, khususnya transportasi udara atau penerbangan.

Secara umum beberapa peraturan di bidang penerbangan tanah air adalah sebagai berikut:

1.      Ordonansi Nomor 100 Tahun 1939 tentang Pengangkutan Udara (OPU)

OPU mengatur tentang dokumen angkutan udara, tanggung jawab pengangkut kepada pihak kedua (penumpang dan pemilik barang kiriman) dan besaran nilai ganti rugi, dan tanggung jawab pihak ketiga dan besaran nilai ganti rugi. Sebagian ketentuan dalam Ordonansi Nomor 100 Tahun 1939 tentang Pengangkutan Udara dinyatakan tidak berlaku lagi, kerena telah disempurnakan oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Ketentuan dalam Ordonansi Nomor 100 Tahun 1939 tentang Pengangkutan Udara yang disempurnakan meliputi: (1) tanggung jawab pengangkut kepada pihak kedua (penumpang dan pemilik barang kiriman) dan besaran nilai ganti rugi, dan (2) tanggung jawab pihak ketiga dan besaran nilai ganti rugi.

2.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan
Undang-Undang ini merupakan penyempurnaan dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 1958 tentang Penerbangan dan sebagian dari Ordonansi Nomor 100 Tahun 1939 tentang Pengangkutan Udara. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan mengatur tentang asas dan tujuan dari penyelengaran penerbangan, kedaulatan atas wilayah udara, pembinaan penerbangan sipil, pendaftaran dan kebangsaan pesawat udara serta penggunaan sebagai jaminan hutang, penggunaan pesawat udara, keamanan dan keselamatan penerbangan, bandar udara, pencarian dan pertolongan kecelakaan serta penelitian sebab-sebab kecelakaan pesawat udara, angkutan udara, dampak lingkungan, penyidikan dan ketentuan pidana.

Sebagai peraturan pelaksana dari Undang-Undang tersebut kemudian ditetapkan: (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara, (2) Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2000 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan, dan (3) Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2001 tentang Kebandarudaraan. Sedangkan peraturan pelaksana yang lebih rinci dan teknis yang merupakan petunjuk pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah tersebut ditetapkan melalui Keputusan Menteri dan Keputusan Direktorat Jenderal Perhubungan.

3.      Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
Seiring dengan tingkat keselamatan transportasi di Indonesia yang telah mencapai tingkat yang memprihatinkan dengan banyaknya kecelakaan transportasi dan seolah telah menjadi berita yang wajar sehari-hari di media massa, tidak terkecuali transportasi udara, pembahasan mengenai perubahan undang-undang mengenai transportasi pun menjadi bagian yang hangat di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Indonesia khususnya untuk bidang transportasi penerbangan, karena meskipun secara kuantitatif kecelakan di sini lebih sedikit tetapi dampak kecelakaan yang lebih jauh, membuatnya lebih menjadi perhatian khalayak ramai.[25]

Rancangan mengenai Undang-Undang ini mulai dibahas sejak Juni 2008, dengan muatan rangkuman dari berbagai sumber, antara lain: Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2008 yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1992, artikel-artikel yang relevan dalam tulisan ilmiah populer maupun yang terdapat dalam annal of air and space law, usulan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU), dokumen ICAO mengenai perubahan iklim global, kasus kecelakaan pesawat serta bahan dan hasil workshop yang berkaitan dengan penegakan hukum di bidang transportasi udara.[26]

Menurut K. Martono, pengajuan revisi terhadap Undang-Undang ini berdasarkan pertimbangan pola pikir antara lain bahwa ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Repulik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 sebagian sudah tidak relevan dan perlu dirubah, serta perlu adanya ketentuan-ketentuan yang ditambahkan berkenaan dengan perkembangan ketentuan internasional mengenai penerbangan. Hingga akhirnya Undang-Undang Penerbangan yang baru ini berlaku mulai 12 Januari 2009,[27] walaupun demikian sesuai dengan ketentuan penutup, diperlukan waktu setidak-tidaknya tiga tahun untuk memberlakukannya secara efektif.

Selanjutnya dengan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, maka OPU dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 sudah tidak berlaku lagi, namun ketentuan pasal 464 Undang-Undang Penerbangan yang baru tersebut menyatakan bahwa peraturan pelaksana bagi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 yang digantikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti pengaturannya pada dalam Undang-Undang Penerbangan yang baru.

Mengingat keselamatan dan keamanan merupakan bagian dari asas dalam penyelenggaraan transportasi, maka pengaturannya pun merupakan bagaian yang mengalami revisi. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, keselamatan dan keamanan selama penerbangan khusus dalam pesawat udara diatur dalam BAB VIII mengenai Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara, Bagian keempat dari Pasal 52 sampai dengan Pasal 57. Kemudian secara umum mengenai keselamatan penerbangan yang memuat program, pengawasan, penegakan hukum, manajemen dan budaya keselamatan diatur dalam BAB XIII Pasal 308 sampai dengan Pasal 322. Selanjutnya aturan pelaksana mengenai ketentuan keselamatan dalam Undang-undang ini menggunakan Peraturan Menteri mengenai keselamatan dan keamanan dalam pesawat udara, kewenangan kapten selama penerbangan, budaya keselamatan dan pemberian sanksi administratif.


DAFTAR PUSTAKA

Djarab, Hendarmin. dkk. 1998. Beberapa Pemikiran Hukum Memasuki Abad XXI. Bandung : Angkasa

Konvensi Chicago 1944 (Convention on International Civil Aviation)
Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R Agoes.2003. Pengantar Hukum Internsional. Bandung : Alumni

Martono, K. 2009. Hukum Penerbangan Berdasarkan UURI No. 1 Tahun 2009 Bandung : Mandar Maju

Martono, K. dan Usman Melayu. 1996. Perjanjian Angkutan Udara di Indonesia. Bandung : Mandar  
           Maju

Mauna, Boer. 2008. Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika 
           Global. Bandung : Alumni

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM 26 Tahun 2009 tentang Sanksi    Administratif Terhadap
            Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Keselamatan Penerbangan

Suherman, E. 1979. Hukum Udara Idonesia & Internasional. Bandung : Alumni

__________. 1984. Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara. Bandung : Alumni

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan


[1] Terdapat dua jenis klasifikasi pesawat udara, pertama pesawat udara yang lebih berat dari udara disebut aerodin, misalnya adalah helikopter, girokopter, pesawat bersayap tetap, dan kedua pesawat udara yang lebih ringan dari udara disebut aerostat, misalnya balon dan kapal udara. Pesawat yang lebih berat dari udara diterbangkan pertama kali oleh Wright Bersaudara (Orville Wright dan Wilbur Wright) dengan menggunakan pesawat rancangan sendiri yang dinamakan Flyer yang diluncurkan pada tahun 1903 di Amerika Serikat. Sedangkan untuk pesawat yang lebih ringan dari udara sudah terbang jauh sebelumnya, penerbangan pertama kalinya dengan menggunakan balon udara panas yang ditemukan seorang berkebangsaaan Perancis bernama Joseph Montgolfier dan Etiene Montgolfier terjadi pada tahun 1782.

[2] E. Suherman, Hukum Udara Idonesia & Internasional (Bandung : Alumni, 1979) hal. 101

[3] E. Suherman, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara (Bandung : Alumni, 1984) hal. 30

[4] Ibid, hal. 30

[5] Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internsional (Bandung : Alumni, 2003) hal. 197

[6] K. Martono, Hukum Penerbangan Berdasarkan UURI No.1 Tahun 2009 (Bandung : Mandar Maju, 2009) hal. 347-349

[7] Ibid, hal. 351
[8] Ibid,  hal. 353-356
[9] Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global (Bandung : Alumni, 2008) hal. 436-438
[10] Cabotage adalah hak untuk melakukan pengangkutan penumpang, barang dan pos dari suatu bandara ke bandara lain dalam wilayah satu negara, dan merupakan hak prerogatif negara tersebut sesuai pasal 7 Konvensi Chicago 1944: “Each contracting State shall have the right to refuse permission to the aircraft of other contracting States to take on in its territory passengers, mail, and cargo carried for remuneration or hire and destined for another point within its territory. Each contracting State undertakes not enter into any arrangement which specifically grant any such privilege on an exclusive basis to any other State or an airline of any other State, and not to obtain any such exclusive privilege any other State”.
[11] Berdasarkan Pasal 36-38 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan
[12] Penggunaan pesawat udara secara terbatas adalah penggunaan dan pengoperasian pesawat udara secara terbatas untuk tujuan khusus antara lain pertanian, konservasi hutan, pemetaan patroli, pemantauan cuaca, hujan buatan, dan periklanan. Penggunaan pesawat udara untuk percobaan adalah penggunaan dan pengoperasian pesawat udara untuk tujuan: 1) penelitian dan pengembangan (research & development); 2) pembuktian kesesuaian dengan peraturan-peraturan (showing compliance with regulations); 3) pelatihan awak pesawat (crew training); 4) pameran (exhibition); 5) perlombaan balap udara (air racing); 6) survei pasar (market surveys); dan 7) kegemaran/hobi kedirgantaraan. Penggunaan pesawat udara untuk kegiatan penerbangan yang bersifat khusus adalah izin terbang khusus yang diterbitkan untuk pengoperasian pesawat udara untuk keperluan: 1) perbaikan atau perawatan; 2) pengiriman atau ekspor pesawat udara; 3) uji terbang produksi (production flight test); 4) evakuasi pesawat dari daerah berbahaya; atau 5) demonstrasi terbang

[13] Peraturan Menteri Perhubungan Nomor : KM 26 Tahun 2009 tentang Sanksi Administratif Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan di Bidang Keselamatan Penerbangan
[14] Pasal 1 angka 48 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

[15] K. Martono, Hukum Penerbangan Berdasarkan UURI No.1 Tahun 2009 (Bandung : Mandar Maju, 2009) hal. 74

[16] Pasal 1 angka 49 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

[17] Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan penjelasan
[18] K. Martono, Hukum Penerbangan Berdasarkan UURI No.1 Tahun 2009 (Bandung : Mandar Maju, 2009) hal. 79
[19] Pasal 44 Konvensi Chicago 1944 (Convention on International Civil Aviation)
[21] E. Suherman, Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara (Bandung : Alumni, 1984) hal 169
[22] Oetarjo Diran, Human Factors and Aviation System Safety or Culture and Large Socio-technical System, Kumpulan artikel dalam Beberapa Pemikiran Hukum Memasuki Abad XXI (Bandung : Angkasa,1998) hal. 253

[23] K. Martono, Hukum Penerbangan Berdasarkan UURI No.1 Tahun 2009 (Bandung : Mandar Maju, 2009) hal. 428-429
[24] Ibid.
[25] Ibid, hal. 343
[26] Ibid.

Senin, Maret 01, 2010

Islam dan Terorisme*

Sejarah Terorisme
 
Perkembangan terorisme bermula dari bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang selanjutnya berubah menjadi pembunuhan, baik secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa tiran. Istilah “teror” dan “terorisme” mulai populer abad ke-18, namun sesungguhnya fenomena yang ditujukannya bukanlah sesuatu yang baru. Menurut Grant Wardlaw [.....gw juga gag kenal seh, he he he] dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.

Kata “terorisme’ berasal dari Bahasa Perancis le terreur yang semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata “terorisme” dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. Dengan demikian maka kata “terorisme” awalnya dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah atau kegiatan yang anti pemerintah. Terorisme bentuk ini, pada akhir abad ke-19 muncul hampir diberbagai belahan dunia, karena terorisme dianggap cara paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh. [...hah, cam kan ene, gag lepas dari unsur politis deh,... lanjut] Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi Terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi.

Bentuk terorisme terus mengalami perkembangan :

  1. Pertama, Sebelum Perang Dunia II, Terorisme dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintahan.
  2. Bentuk kedua Terorisme dimulai di Aljazair di tahun 50-an, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut sebagai Terorisme negara oleh Algerian Nationalist.
  3. Bentuk ketiga Terorisme muncul pada tahun 60-an dan terkenal dengan istilah “Terorisme Media”, berupa serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas, Terorisme bentuk ketiga ini berkembang melalui tiga sumber, yaitu:

  • kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta ham
  • pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalis agama, radikalis setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya kota.
  • kemajuan teknologi, penemuan senjata canggih dan peningkatan lalu lintas.

Namun terorisme bentuk ketiga ini dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang ketika itu sebagian besar buta huruf dan apatis, sehingga dampaknya sangat kecil. Akan lebih efektif menerapkan “the philosophy of the bomb” yang bersifat eksplosif dan sulit diabaikan. [...wajar lah cuy, gag usah yang jaman dulu orang belum pada pinter baca, skarang aja males baca selebaran yang gag penting, ngajak-ngajak dengan dalih menegakan demokrasi, pake acara militan pa selulitan, or apa lah itu, pasti ogah ay kalo gag ada kepentingan pribadi g terusik, ye kan?!, he he gw ja gitu kok, lanjuttt..]

Pasca Perang Dunia II, dunia seolah tidak pernah mengenal damai. Berbagai pergolakan berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa yang meluas menjadi konflik Timur - Barat dan menyeret beberapa negara Dunia Ketiga ke dalamnya menyebabkan timbulnya konflik Utara - Selatan. Perjuangan melawan penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang menarik campur tangan pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di sekian banyak negara Dunia Ketiga, membuat dunia labil dan bergejolak. Ketidakstabilan dunia dan rasa frustasi dari banyak Negara Berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak yang dianggap fundamental dan sah, membuka peluang muncul dan meluasnya Terorisme.

Fenomena Terorisme meningkat sejak permulaan dasa warsa 70-an. Terorisme dan Teror telah berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya, mementuk terorisme gaya baru.

Terorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik:
• ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.
• keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat mungkin.
• tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap Terorisme yang sudah dilakukan.
• serangan Terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi.

Islam dan Terorisme dalam Wacana Masyarakat

Terorisme sebagai sebuah paham, memang berbeda dengan kebanyakan paham yang tumbuh dan berkembang di dunia. Terorisme selalu identik dengan teror, kekerasan, ekstrimitas dan intimidasi. Para pelakunya biasa disebut sebagai teroris. Karena itu, terorisme sebagai paham yang identik dengan teror seringkali menimbulkan konkuensi negatif bagi kemanusiaan. Terorisme kerap menjatuhkan korban kemanusiaan dalam jumlah yang tak terhitung.

Terorisme kian mencuat ke permukaan, tatkala gedung pencakar langit, World Trade Center (WTC) New York, hancur-lebur diserang sebuah kelompok. Pada titik ini, terorisme kian dipertanyakan dan dipersoalkan. Apa sebenarnya terorisme itu? Benarkah terorisme teridentifikasi sebagai penyebab utama di balik penyerangan tersebut?

Pengeboman bus turis asing di Kairo, penembakan para turis di Luxor, Mesir, pengeboman kedubes AS di Kenya dan insiden yang serupa merupakan salah satu bentuk aksi-aksi terorisme. Dalam insiden tersebut membuktikan, bahwa ribuan nyawa manusia yang tidak berdosa raib akibat ulah para teroris. Orang tua-renta, dewasa, anak muda dan bayi turut menanggung akibat dari pertarungan ideologi.
Pada titik ini, terorisme mendapatkan sorotan serius dari masyarakat dunia, bahwa cara-cara yang ditempuh para teroris dapat mewujudkan instabilitas, kekacauan dan kegelisahan yang berkepanjangan. Masyarakat senantiasa dihantui perasaan was-was dan tidak aman. Namun pertanyaan yang muncul kemudian, “Siapa sebenarnya yang melakukan aksi-aksi terorisme?”

Belum lepas dari pertanyaan-pertanyaan itu, muncul pertanyaan yang tidak pernah terjawab lagi, adakah korelasi fungsional antara Islam dan Terorisme? Bisakah gerakan keagamaan yang diduga dalang terorisme sebagai representasi Islam, baik dalam ranah ajaran maupun pengikutnya?

Stigmatisasi Islam sebagai agama teroris makin dahsyat. Ini terkait erat dengan maraknya gerakan Islam Politik yang menunjukkan pandangan-pandangan fundamentalistik. Fenomenanya, pasca-runtuhnya menara kembar WTC, respon sebagian besar gerakan Islam Politik bukan malah simpati terhadap korban kemanusiaan, melainkan makin memperbesar resistensi terhadap barat. Dan yang mengemuka adalah semangat anti-barat. Apapun yang datang dari barat senantiasa dikecam dan ditolak. Sikap tersebut memang bukan tanpa sebab. Mengerasnya sikap Islam Politik juga seiring dengan kebijakan politik luar negri Amerika Serikat yang semakin keras, terutama menyangkut konflik Israel-Palestina dan rencana serangan ke Irak. Ini justru memberikan amunisi bagi reaksi yang semakin kencang dari kalangan Islam Politik.

Namun demikian, perihal yang tidak bisa diabaikan begitu saja, bahwa potensi-pontensi bagi terbentuknya pemahaman keagamaan yang menjurus pada terorisme dalam tradisi Islam bisa didapati dengan mudah. Ini biasanya disebabkan pandangan tekstual terhadap kitab suci. Kamal Abul Madjid (2000) dalam al-Irhab wa al-Islam (Islam dan Terorisme) membenarkan, bahwa terorisme dalam tradisi Islam terbentuk melalui pandangan keagamaan yang mengacam dan menakutkan (al-tahdid wa al-takhwif).

Terorisme dalam bahasa Arab disebut al-irhab. Istilah tersebut digunakan al-Quran untuk melawan “musuh Tuhan” (QS.8:60). Karenanya, kalau kita mencermati gerakan Islam Politik, pandangan fundamentalistik dan gerakan radikalistik seringkali digunakan untuk melawan “musuh Tuhan”. Bagi mereka, barat disebut sebagai salah satu simbol musuh Tuhan.

Dalam mengidentifikasi musuh, Islam politik menggunakan tiga pandangan mendasar. Pertama, politik sebagai bagian dari Islam. Berpolitik praktis merupakan kewajiban (fardlu) bagi setiap muslim. Ini mengakibatkan setiap muslim harus terlibat dalam politik guna melawan “politik kafir”. Kedua, Islam sebagai komunitas yang paling benar, sedangkan yang lain dianggap murtad. Ketiga, kecenderungan untuk memaksakan pandangan dengan “tangan besi”, kekerasan, pembunuhan dan perang, yang biasa disebut dengan jihad fi sabililillah. (Sa’id Asymawi: 1996: 297)

Di sinilah, letak problematikanya, tatkala Islam dijadikan sebagai lanskap politik, karena tidak mampu mengakomodasi “pandangan lain” dan “kelompok lain”. sehingganya pandangan tersebut berdampak negatif, tidak hanya bagi orang lain, akan tetapi bagi Islam sendiri.

[Note, he he he : Namun katanya pasca pengeboman gedung WTC, banyak orang justru memeluk islam, di Jepang, penjualan kitab suci Alquran dan buku-buku tentang Islam laku keras. Di Amerika Serikat, lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang berbasis Islam sibuk melayani kunjungan warga Amerika Serikat yang ingin mengetahui lebih dalam tentang ajaran Islam. Mereka semua penasaran apa isi dari ajaran-ajaran Islam sesungguhnya] humm, aneh-aneh aje ye?!

Globalisasi Terorisme

Salah satu tersangka pelaku serangan ke World Trade Centre (WTC) pada 11 September 2001 di Amerika Serikat, Khalid Sheikh Mohammed, tiba-tiba mengejutkan dunia dengan pengakuannya, bahwa dia bertanggungjawab atau otak di balik tersebut dan juga terlibat dalam merencanakan 30 serangan teroris sejak 1993 di pelbagai belahan dunia (Kompas, 16/03/2007). Pengakuan ini penting bagi kelanjutan perang dunia melawan terorisme. Pengakuan ini juga kembali menegaskan bahwa jaringan terorisme memang telah masuk ke dalam sistem globalisasi dimana batas-batas teritorial negara menjadi kurang relevan.

Globalisasi adalah sebuah sistem dunia yang semakin menegaskan wujudnya pasca Perang Dingin. Jika pada masa Perang Dingin dunia ditandai oleh pembagian wilayah yang jelas antara blok Barat (kapitalis), blok Timur (komunis) dan non-blok (negara-negara berkembang), maka globalisasi ditandai oleh integritas dunia melalui jaringan informasi dan penemuan teknologi transportasi yang semakin mengaburkan batas-batas wilayah teritorial. Perang Dingin ditandai oleh adanya batas wilayah, sementara globalisasi muncul menghancurkan batas, dunia malah dihubungkan dalam jaringan besar tanpa batas.

Pada titik ini, terorisme masuk ke dalam jaringan globalisasi dengan sangat baik. Mereka menggunakan semua fasilitas globalisasi dengan teliti dan muncul sebagai kekuatan yang menyeramkan. Itulah sebabnya, terorisme bisa muncul di pelbagai tempat yang berbeda dalam waktu yang hampir bahkan bersamaan.

Terorisme juga memberi definisi yang baru terhadap musuh negara dalam globalisasi. Jika pada era sebelumnya musuh negara adalah negara lain, seperti Amerika Serikat bermusuhan secara jelas yang oleh karenanya saling mengancam dengan Uni Soviet, maka globalisasi, melalui terorisme, membuktikan bahwa musuh negara bisa jadi adalah satu individu atau sekelompok orang. Osama bin Laden dan kelompoknya menjadi musuh utama Amerika Serikat saat ini, dimana pemerintah Amerika Serikat bisa mengeluarkan anggaran dan memuntahkan banyak amunisi untuk menghabisi Osama dan pengikutnya, anggaran dan amunisi yang jumlahnya sama dengan yang digunakan untuk memerangi negara lain di masa lalu. Ciri lain dari globalisasi adalah bahwa setiap persoalan tidak lagi bisa dipandang dari sudut pandang tertentu, melainkan selalu memiliki keterkaitan dengan persoalan lain di tempat-tempat lain.

Namun perlu disadari bahwa sesungguhnya mengkaji tentang terorisme dan Islam tidaklah sesederhana tersebut, karena pada dasarnya keduanya merupakan kajian yang terpisah, sehingganya sangat diperlukan pemahaman mendalam terlebih dahulu mengenai masing-masing kajian sebagai suatu ilmu, tanpa disertai sikap sentimen dan tendensius khususnya terhadap agama tertentu. Karena seperti dijelaskan di atas, bahwa sejarah terorisme sendiri tidak lepas dari unsur politis. Dengan demikian diharapkan memperoleh pemahaman dan sikap yang lebih arif bagi masing-masing individu baik seorang yang menjalankan dan mendalami ajaran Islam, yang biasa-biasa maupun di luar Islam. Karena ilmu bahkan menjelaskan agama sementara agama menempatkan ilmu pada kebenaran. [Yeah... he he he]

* Tulisan ini dari beragai sumber yang dibahasakan kembali.