Senin, Maret 01, 2010

Islam dan Terorisme*

Sejarah Terorisme
 
Perkembangan terorisme bermula dari bentuk fanatisme aliran kepercayaan yang selanjutnya berubah menjadi pembunuhan, baik secara perorangan maupun oleh suatu kelompok terhadap penguasa tiran. Istilah “teror” dan “terorisme” mulai populer abad ke-18, namun sesungguhnya fenomena yang ditujukannya bukanlah sesuatu yang baru. Menurut Grant Wardlaw [.....gw juga gag kenal seh, he he he] dalam buku Political Terrorism (1982), manifestasi Terorisme sistematis muncul sebelum Revolusi Perancis, tetapi baru mencolok sejak paruh kedua abad ke-19. Dalam suplemen kamus yang dikeluarkan Akademi Perancis tahun 1798, terorisme lebih diartikan sebagai sistem rezim teror.

Kata “terorisme’ berasal dari Bahasa Perancis le terreur yang semula dipergunakan untuk menyebut tindakan pemerintah hasil Revolusi Perancis yang mempergunakan kekerasan secara brutal dan berlebihan dengan cara memenggal 40.000 orang yang dituduh melakukan kegiatan anti pemerintah. Selanjutnya kata “terorisme” dipergunakan untuk menyebut gerakan kekerasan anti pemerintah di Rusia. Dengan demikian maka kata “terorisme” awalnya dipergunakan untuk menyebut tindakan kekerasan oleh pemerintah atau kegiatan yang anti pemerintah. Terorisme bentuk ini, pada akhir abad ke-19 muncul hampir diberbagai belahan dunia, karena terorisme dianggap cara paling efektif untuk melakukan revolusi politik maupun sosial, dengan cara membunuh orang-orang yang berpengaruh. [...hah, cam kan ene, gag lepas dari unsur politis deh,... lanjut] Sejarah mencatat pada tahun 1890-an aksi terorisme Armenia melawan pemerintah Turki, yang berakhir dengan bencana pembunuhan masal terhadap warga Armenia pada Perang Dunia I. Pada dekade tersebut, aksi Terorisme diidentikkan sebagai bagian dari gerakan sayap kiri yang berbasiskan ideologi.

Bentuk terorisme terus mengalami perkembangan :

  1. Pertama, Sebelum Perang Dunia II, Terorisme dilakukan dengan cara pembunuhan politik terhadap pejabat pemerintahan.
  2. Bentuk kedua Terorisme dimulai di Aljazair di tahun 50-an, dilakukan oleh FLN yang mempopulerkan “serangan yang bersifat acak” terhadap masyarakat sipil yang tidak berdosa. Hal ini dilakukan untuk melawan apa yang disebut sebagai Terorisme negara oleh Algerian Nationalist.
  3. Bentuk ketiga Terorisme muncul pada tahun 60-an dan terkenal dengan istilah “Terorisme Media”, berupa serangan acak terhadap siapa saja untuk tujuan publisitas, Terorisme bentuk ketiga ini berkembang melalui tiga sumber, yaitu:

  • kecenderungan sejarah yang semakin menentang kolonialisme dan tumbuhnya gerakan-gerakan demokrasi serta ham
  • pergeseran ideologis yang mencakup kebangkitan fundamentalis agama, radikalis setelah era perang Vietnam dan munculnya ide perang gerilya kota.
  • kemajuan teknologi, penemuan senjata canggih dan peningkatan lalu lintas.

Namun terorisme bentuk ketiga ini dianggap kurang efektif dalam masyarakat yang ketika itu sebagian besar buta huruf dan apatis, sehingga dampaknya sangat kecil. Akan lebih efektif menerapkan “the philosophy of the bomb” yang bersifat eksplosif dan sulit diabaikan. [...wajar lah cuy, gag usah yang jaman dulu orang belum pada pinter baca, skarang aja males baca selebaran yang gag penting, ngajak-ngajak dengan dalih menegakan demokrasi, pake acara militan pa selulitan, or apa lah itu, pasti ogah ay kalo gag ada kepentingan pribadi g terusik, ye kan?!, he he gw ja gitu kok, lanjuttt..]

Pasca Perang Dunia II, dunia seolah tidak pernah mengenal damai. Berbagai pergolakan berkembang dan berlangsung secara berkelanjutan. Konfrontasi negara adikuasa yang meluas menjadi konflik Timur - Barat dan menyeret beberapa negara Dunia Ketiga ke dalamnya menyebabkan timbulnya konflik Utara - Selatan. Perjuangan melawan penjajah, pergolakan rasial, konflik regional yang menarik campur tangan pihak ketiga, pergolakan dalam negeri di sekian banyak negara Dunia Ketiga, membuat dunia labil dan bergejolak. Ketidakstabilan dunia dan rasa frustasi dari banyak Negara Berkembang dalam perjuangan menuntut hak-hak yang dianggap fundamental dan sah, membuka peluang muncul dan meluasnya Terorisme.

Fenomena Terorisme meningkat sejak permulaan dasa warsa 70-an. Terorisme dan Teror telah berkembang dalam sengketa ideologi, fanatisme agama, perjuangan kemerdekaan, pemberontakan, gerilya, bahkan juga oleh pemerintah sebagai cara dan sarana menegakkan kekuasaannya, mementuk terorisme gaya baru.

Terorisme gaya baru mengandung beberapa karakteristik:
• ada maksimalisasi korban secara sangat mengerikan.
• keinginan untuk mendapatkan liputan di media massa secara internasional secepat mungkin.
• tidak pernah ada yang membuat klaim terhadap Terorisme yang sudah dilakukan.
• serangan Terorisme itu tidak pernah bisa diduga karena sasarannya sama dengan luasnya seluruh permukaan bumi.

Islam dan Terorisme dalam Wacana Masyarakat

Terorisme sebagai sebuah paham, memang berbeda dengan kebanyakan paham yang tumbuh dan berkembang di dunia. Terorisme selalu identik dengan teror, kekerasan, ekstrimitas dan intimidasi. Para pelakunya biasa disebut sebagai teroris. Karena itu, terorisme sebagai paham yang identik dengan teror seringkali menimbulkan konkuensi negatif bagi kemanusiaan. Terorisme kerap menjatuhkan korban kemanusiaan dalam jumlah yang tak terhitung.

Terorisme kian mencuat ke permukaan, tatkala gedung pencakar langit, World Trade Center (WTC) New York, hancur-lebur diserang sebuah kelompok. Pada titik ini, terorisme kian dipertanyakan dan dipersoalkan. Apa sebenarnya terorisme itu? Benarkah terorisme teridentifikasi sebagai penyebab utama di balik penyerangan tersebut?

Pengeboman bus turis asing di Kairo, penembakan para turis di Luxor, Mesir, pengeboman kedubes AS di Kenya dan insiden yang serupa merupakan salah satu bentuk aksi-aksi terorisme. Dalam insiden tersebut membuktikan, bahwa ribuan nyawa manusia yang tidak berdosa raib akibat ulah para teroris. Orang tua-renta, dewasa, anak muda dan bayi turut menanggung akibat dari pertarungan ideologi.
Pada titik ini, terorisme mendapatkan sorotan serius dari masyarakat dunia, bahwa cara-cara yang ditempuh para teroris dapat mewujudkan instabilitas, kekacauan dan kegelisahan yang berkepanjangan. Masyarakat senantiasa dihantui perasaan was-was dan tidak aman. Namun pertanyaan yang muncul kemudian, “Siapa sebenarnya yang melakukan aksi-aksi terorisme?”

Belum lepas dari pertanyaan-pertanyaan itu, muncul pertanyaan yang tidak pernah terjawab lagi, adakah korelasi fungsional antara Islam dan Terorisme? Bisakah gerakan keagamaan yang diduga dalang terorisme sebagai representasi Islam, baik dalam ranah ajaran maupun pengikutnya?

Stigmatisasi Islam sebagai agama teroris makin dahsyat. Ini terkait erat dengan maraknya gerakan Islam Politik yang menunjukkan pandangan-pandangan fundamentalistik. Fenomenanya, pasca-runtuhnya menara kembar WTC, respon sebagian besar gerakan Islam Politik bukan malah simpati terhadap korban kemanusiaan, melainkan makin memperbesar resistensi terhadap barat. Dan yang mengemuka adalah semangat anti-barat. Apapun yang datang dari barat senantiasa dikecam dan ditolak. Sikap tersebut memang bukan tanpa sebab. Mengerasnya sikap Islam Politik juga seiring dengan kebijakan politik luar negri Amerika Serikat yang semakin keras, terutama menyangkut konflik Israel-Palestina dan rencana serangan ke Irak. Ini justru memberikan amunisi bagi reaksi yang semakin kencang dari kalangan Islam Politik.

Namun demikian, perihal yang tidak bisa diabaikan begitu saja, bahwa potensi-pontensi bagi terbentuknya pemahaman keagamaan yang menjurus pada terorisme dalam tradisi Islam bisa didapati dengan mudah. Ini biasanya disebabkan pandangan tekstual terhadap kitab suci. Kamal Abul Madjid (2000) dalam al-Irhab wa al-Islam (Islam dan Terorisme) membenarkan, bahwa terorisme dalam tradisi Islam terbentuk melalui pandangan keagamaan yang mengacam dan menakutkan (al-tahdid wa al-takhwif).

Terorisme dalam bahasa Arab disebut al-irhab. Istilah tersebut digunakan al-Quran untuk melawan “musuh Tuhan” (QS.8:60). Karenanya, kalau kita mencermati gerakan Islam Politik, pandangan fundamentalistik dan gerakan radikalistik seringkali digunakan untuk melawan “musuh Tuhan”. Bagi mereka, barat disebut sebagai salah satu simbol musuh Tuhan.

Dalam mengidentifikasi musuh, Islam politik menggunakan tiga pandangan mendasar. Pertama, politik sebagai bagian dari Islam. Berpolitik praktis merupakan kewajiban (fardlu) bagi setiap muslim. Ini mengakibatkan setiap muslim harus terlibat dalam politik guna melawan “politik kafir”. Kedua, Islam sebagai komunitas yang paling benar, sedangkan yang lain dianggap murtad. Ketiga, kecenderungan untuk memaksakan pandangan dengan “tangan besi”, kekerasan, pembunuhan dan perang, yang biasa disebut dengan jihad fi sabililillah. (Sa’id Asymawi: 1996: 297)

Di sinilah, letak problematikanya, tatkala Islam dijadikan sebagai lanskap politik, karena tidak mampu mengakomodasi “pandangan lain” dan “kelompok lain”. sehingganya pandangan tersebut berdampak negatif, tidak hanya bagi orang lain, akan tetapi bagi Islam sendiri.

[Note, he he he : Namun katanya pasca pengeboman gedung WTC, banyak orang justru memeluk islam, di Jepang, penjualan kitab suci Alquran dan buku-buku tentang Islam laku keras. Di Amerika Serikat, lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang berbasis Islam sibuk melayani kunjungan warga Amerika Serikat yang ingin mengetahui lebih dalam tentang ajaran Islam. Mereka semua penasaran apa isi dari ajaran-ajaran Islam sesungguhnya] humm, aneh-aneh aje ye?!

Globalisasi Terorisme

Salah satu tersangka pelaku serangan ke World Trade Centre (WTC) pada 11 September 2001 di Amerika Serikat, Khalid Sheikh Mohammed, tiba-tiba mengejutkan dunia dengan pengakuannya, bahwa dia bertanggungjawab atau otak di balik tersebut dan juga terlibat dalam merencanakan 30 serangan teroris sejak 1993 di pelbagai belahan dunia (Kompas, 16/03/2007). Pengakuan ini penting bagi kelanjutan perang dunia melawan terorisme. Pengakuan ini juga kembali menegaskan bahwa jaringan terorisme memang telah masuk ke dalam sistem globalisasi dimana batas-batas teritorial negara menjadi kurang relevan.

Globalisasi adalah sebuah sistem dunia yang semakin menegaskan wujudnya pasca Perang Dingin. Jika pada masa Perang Dingin dunia ditandai oleh pembagian wilayah yang jelas antara blok Barat (kapitalis), blok Timur (komunis) dan non-blok (negara-negara berkembang), maka globalisasi ditandai oleh integritas dunia melalui jaringan informasi dan penemuan teknologi transportasi yang semakin mengaburkan batas-batas wilayah teritorial. Perang Dingin ditandai oleh adanya batas wilayah, sementara globalisasi muncul menghancurkan batas, dunia malah dihubungkan dalam jaringan besar tanpa batas.

Pada titik ini, terorisme masuk ke dalam jaringan globalisasi dengan sangat baik. Mereka menggunakan semua fasilitas globalisasi dengan teliti dan muncul sebagai kekuatan yang menyeramkan. Itulah sebabnya, terorisme bisa muncul di pelbagai tempat yang berbeda dalam waktu yang hampir bahkan bersamaan.

Terorisme juga memberi definisi yang baru terhadap musuh negara dalam globalisasi. Jika pada era sebelumnya musuh negara adalah negara lain, seperti Amerika Serikat bermusuhan secara jelas yang oleh karenanya saling mengancam dengan Uni Soviet, maka globalisasi, melalui terorisme, membuktikan bahwa musuh negara bisa jadi adalah satu individu atau sekelompok orang. Osama bin Laden dan kelompoknya menjadi musuh utama Amerika Serikat saat ini, dimana pemerintah Amerika Serikat bisa mengeluarkan anggaran dan memuntahkan banyak amunisi untuk menghabisi Osama dan pengikutnya, anggaran dan amunisi yang jumlahnya sama dengan yang digunakan untuk memerangi negara lain di masa lalu. Ciri lain dari globalisasi adalah bahwa setiap persoalan tidak lagi bisa dipandang dari sudut pandang tertentu, melainkan selalu memiliki keterkaitan dengan persoalan lain di tempat-tempat lain.

Namun perlu disadari bahwa sesungguhnya mengkaji tentang terorisme dan Islam tidaklah sesederhana tersebut, karena pada dasarnya keduanya merupakan kajian yang terpisah, sehingganya sangat diperlukan pemahaman mendalam terlebih dahulu mengenai masing-masing kajian sebagai suatu ilmu, tanpa disertai sikap sentimen dan tendensius khususnya terhadap agama tertentu. Karena seperti dijelaskan di atas, bahwa sejarah terorisme sendiri tidak lepas dari unsur politis. Dengan demikian diharapkan memperoleh pemahaman dan sikap yang lebih arif bagi masing-masing individu baik seorang yang menjalankan dan mendalami ajaran Islam, yang biasa-biasa maupun di luar Islam. Karena ilmu bahkan menjelaskan agama sementara agama menempatkan ilmu pada kebenaran. [Yeah... he he he]

* Tulisan ini dari beragai sumber yang dibahasakan kembali.

Tidak ada komentar: