Senin, Maret 01, 2010

Pengantar pulangnya pemikiran bijak

Terhubungkan dengan salah satu program kius di televisi. Pastinya yang aku ingat guruku itu unik, selain karena wajahnya yang mirip artis sinetron pada waktu itu sebagai tokoh “Mr. Nero”, juga karena cara mengajarnya yang kuno meski tidak kejam. Aku ingat saat diberi tugas untuk mempelajari salah satu bab, adalah di bagianya terlampir teks tentang kembali belakunya UUD 1945, yang harus kami hapalkan dan bacakan sebagaimana waktu itu Presiden Soekarno membacakannya (sebernya penting nggak penting kan? haha…maksudnya lebih penting nggak pentingnya). Tetapi ada benang merah (ijo juga boleh, biar rame) yang menghubungkan hal itu dengan yang aku alami masa kini. Bahwa teks tersebut tetera No. X, bukan dibaca sepuluh, atau bukan dibaca eks, walaupun memang yang dimaksud adalah huruf X (eks) namun dimaksudkan sebagai tanda sesuatu yang belum diketahui dan masih misterius, wajar karena waktu itu memang keadaan negara masih belum kondusif, sampai lupa harusnya nomer berapa.

Kalau sekarang, di kampus lebih pas lagi awal-awal masuk kampus sebagai mahaiswa. Teringat masa-masa orientasi, mendengar kakak-kakak tingkat dengan suara lantang selalu saja membentak, mengolok, memberi perintah semaunya, yang pada waktu itu, dalam hati ingin berontak tetapi tak pernah. Karena ada pasal yang meyatakan :

Pasal 1 : Kakak Tingkat selalu benar
Pasal 2 : Kalau Kakak Tingkat salah, kembali ke pasal 1

Dalam hati bertanya, dimana keadilan untuk kami? Tetapi pasti akan disuguhkan dari mulai makian sampai kepada yang paling bijak, yang mengatakan kami lebih beruntung ketimbang mereka dulu. Apalagi jika harus membandingkan dengan Inggris yang sudah menghapus budaya orientasi (OSPEK dan semacamnya) sejak tahun 60an. Oh, kenapa jadi kami yang harus berela dan berpaksakan hati, menebus kemalangan mereka. Sekali lagi ditanyakan dimana keadilan? Tetapi musnah saja benak itu, ketika masa berlalu dan Dosen pun memberi pernyataan yang sama :

Pasal 1 : Dosen selalu benar
Pasal 2 : Kalau Dosen salah, kembali ke pasal 1

Duh, beratnya. Lebih lagi yang berkata dosen Hukum Adat, yang disegani karena memang pemikiranya yang luar biasa apa lagi pemikiran hukum progresif, seorang Dotor dan sekarang sudah lebih. Aku teringat dalam kuliahnya, hukum harus mencerminkan apa yang hidup dalam masyarakatnya. Walaupun memang tidak sesingkat itu untuk memperoleh pemahaman yang jelas sangat.

Yang sama lucunya karena aku belum tahu ada dimana aturan yang memuat pasal-pasal itu? Yang ini bukan saja Nomor. X tetapi namanya juga. X, karena masih misterius. Jadi dalam Peraturan Dosen X, Nomor X tentang Tata Tertib bla bla bla.

Jika menilik dalam kajian filsafat (uhm, maaf juga nggak tau amat soal filsafat, tapi inilah…). Filsafat liberalisme yang lahir terlebih dahulu memandang bahwa hukum adalah sesuatu yang netral. Sedangkan filsafat Marxisme melihat bahwa hukum adalah alat yang digunakan oleh pihak yang berkuasa untuk menindas pihak yang dikuasai. Filsafat Marx memang mencita-citakan sebuah masyarakat komunis (tanpa kelas) di mana tiap orang diminta menurut kecakapannya, dan kepada tiap orang diberikan menurut kebutuhannya. Tujuan masyarakat komunis tersebut memang membutuhkan sebuah alat, dan Marx berpendapat bahwa negara merupakan alat yang mungkin untuk mewujudkannya.

Tenyata aku semakin mengerti (dari yang nggak ngerti ke yang agak ngerti aja deh) kenapa salama ini dan sampai kini keadaan menuntut ketidak mampuan manusia untuk melengkapinya dengan perangkat-perangkat hukum. Sikap arogansi adalah pilihan, yang tidak perlu dibesar-besarkan, untuk mencapai tujuan hukum. Dengan begitu maka sesuailah dengan dalilnya bahwa hukum mencerminkan apa yang hidup dalam masyarakat. Kasihan sekali ya! Untuk damai kan memang tak perlu harus adil, ideal. Bohong. Apa iya?,

Atau aku masih belum mengerti? (memang selalu dibuat bego kalo diajar ma orang pinter banget, bego banget dah gw). Ketika harus ujian kelompok dan ada anggota kelompok yang tidak hadir maka semua anggota kelompok harus mengulang mata kuliah tahun depan. Sesaat aku begitu kecewa, apa salah saya? Kenapa harus begitu, saya tidak salah maka saya tidak berdosa! Atau ini cobaan? Seperti orang-orang yang beriman kepada Tuhanya, lalu jika lulus cobaan akan mencapai sebuah strata baru yang hanya dalam dirinya strata itu ada, hingga mencapai kesempurnaan tanpa dosa. Hidupnya damai dan tenang karena penuh keikhlasan, meski di luar dirinya orang tak melihatnya begitu terhadapnya.

Bisa jadi, jika aku rela memandang demikian atas perlakuan dosen itu. Yang sebagai Tuhan untuk menentukan lulus tidaknya mata kuliahnya. Maka harus jauh kembali aku berpikir, “untuk apa aku kuliah?”. Dan aku sejenak merasa hidupku tanpa beban dosa. Ternyata Tuhan tidak pernah tidak adil. Kepada teman-temanku yang serupa, mari pahami ini bukan sebagai bentuk aturan karena ketidak berdayaan pembuatnya tetapi kerena beliau tahu yang terbaik bagi kita, karena beliau serupa Tuhan. Atau kalau tak terima, cukuplah seperti Ben Rendel dalam The Guardian, yang juga memahami hidup sebagai membuat pilihan, ya, seperti yang tak jarang beliau katakan.

Tidak ada komentar: