Senin, Maret 01, 2010

Pernahkan sering merasa terpesona dengan kehendak alam atas dirimu?


Walau itu mengejutkan, karena itu pesonanya. Yang terungkap dalam dialektika dengan materi strategis ini tertuang dalam bahasa kembali, mengkomunikasikan kembali. Tiada materi yang tidak bergerak atau bahwa gerak itu materi, seperti demikian seterusnya. Singgah sejenak dalam betuk skeptisnya diri, karena memaksakan diri masuk ke dalam proses belajar yang tiada kenal waktu terlambat, karena sampai mati akan terus belajar. Satu hal yang berbeda dalam sistem disiplin yang wajar, atas ilmu semua keterlambatan ditoleransikan (…hehe, jadi kalo terlambat masuk kelas, bilang aja “tiada kata terlambat untuk belajar”).Lalu melelahkan diri yang terkadang dilingkupi dukungan skeptis.

Dalam diri yang “tidak seberapa ini” (begitu kiranya nilai teoritis yang terkandung) sudah “dicaci maki” tetapi “tercaci maki” lagi dalam proses sesudah kepanjangannya, semenjak saat cacian membuat diri skeptis namun bangkit kembali atas dasar idealisme dan ajaran-ajaran kebaikan (lurus) untuk selalu radiakal dan kritis memahami esensi atas proses pembelajaran atau sisi lain dari pergulatan (dialektika) dengan materi yang stategis, dengan hampir dapat disimpulkan diri telah menyimpang dari ajaran krtisi proses, namun diimbuhkan dalam wujud normal nilai yang sewajarnya setara dengan kepuasan yang semu dan butuh dikritisi, apakah layak?

Tetapi dihidangkan kenyataan-kenyataan pahit yang dicontohkan sebagai kasus pada proses pembelajaran itu, justru diri merasa terpesona dengan fakta kemunafikan itu, terus bertimbang-timbang fikir untuk mencari pasokan ide menopang idealisme diri dengan tetap radikal dan kritis terhadap esensi pada proses yang menyinggung “munafik” yang menjijikan, membangun diri ini semakin menyedihkan dalam memupuk egoisme membangun topang diri tetap  ideal. Walau sungguh pun disadari konsisten itu setara dengan tiada kecuali kekonsistenannya tiada.

Sampai kapan akan percaya karma? Sudah hingga sampai pertanyaan akan surga dan neraka, namun berbagai materi stategis mengilhami setiap atma dari pikiran, ucapan dan tindakan diri yang bergerak secara nyata. Yang saat ini bukan untuk bertanya mengapa berpikir untuk esok namun “tindakan berpikir” untuk sekarang, dalamnya sedemikian pun begitu melelahkan.

Sudah bersyukur ada yang mencintai, sudah bersyukur ada kemampuan berpikir.

Tidak ada komentar: